Tumirah nenek 109 tahun saat berjualan kacang kering di pinggir pintu masuk parkir stasiun tugu Yogyakarta sisi selatan - kompas.com |
BLOG UNIK - Memasuki akhir pekan, aktivitas di Stasiun Tugu, Yogyakarta, mulai ramai. Stasiun itu mulai penuh dengan penumpang, baik yang akan berangkat, maupun tiba di stasiun itu.
Kendaraan roda dua dan empat pun terlihat lalu lalang untuk mengantar calon penumpang maupun menjemput kerabat yang baru datang.
Di sela kesibukan itu, tampak seorang perempuan sepuh duduk beralaskan selembar kain panjang di pinggir pintu area parkir stasiun. Sebuah payung yang disandarkan di sepeda motor melindunginya dari terik matahari.
"Nama saya Tumirah. Ini jualan kacang kering," kata warga Sosrowijayan Gedongtengen, Yogyakarta, saat ditemui Kompas.com, Sabtu (16/5/2015). Di hadapannya, ada keranjang biru dan sebuah keranjang anyaman bambu, tempat ia menggelar barang dagangan.
Tumirah mengaku berjualan kacang di Stasiun Tugu sejak setahun lalu. Ia berjualan kacang untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari dan mengisi harinya dengan kegiatan supaya tidak jenuh.
"Usia saya 109 tahun, Suro besok 110 tahun. Dulu kan ada cucu saya, tapi sudah di Magelang. Di rumah sepi, ya sudah saya jualan. Saya juga tidak ingin merepotkan mereka," ucapnya.
Tumirah menuturkan, ia membuat kacang kering itu dengan bantuan cucu dan cicitnya. Kegiatan itu dimulai pada pukul 06.00. Siangnya, ia membungkus kacang kering itu ke dalam plastik lalu diikat dengan karet gelang.
"Kalau sudah habis ya masak sendiri pakai anglo (tungku arang). Kan hanya kacang digoreng dengan pasir sampai kering," ujarnya.
Ia berangkat ke stasiun pada sekitar pukul 15.00. Ada cucu yang mengantarnya dengan becak ke parkiran Stasiun Tugu.
"Satu plastik Rp 5.000. Jualannya hanya sampai Maghrib. Kalau malam-malam pulang dingin," tegasnya.
Ia tidak begitu memikirkan hasil penjualan yang tidak pasti. "Yang penting disyukuri dan bisa untuk makan. Saya tidak mau merepotkan orang lain," tandasnya.
Ibu tunggal
Sejak muda ia sudah menjalani kehidupan yang cukup sulit. Ia pernah merasakan kesusahan hidup di masa penjajahan. Pada masa itu ia bahkan pernah tidak makan sampai lima hari.
Ia pun harus merobohkan rumahnya di Sosrowijayan untuk menutupi lubang persembunyian keluarganya. "Jadi semua rumah dirobohkan, untuk menutupi lubang persembunyian. Kalau ketahuan bisa ditangkap, jadi tidak makan itu biasa," tuturnya.
Tidak hanya itu, ia juga berjuang seorang diri untuk membesarkan anak tunggalnya setelah suaminya meninggal.
"Saya jadi tukang cuci baju juga pernah. Apapun asal untuk menghidupi anak saya. Suami saya meninggal saat penjajahan jepang," ujar perempuan yang memiliki sembilan cucu dan 22 cicit itu.
dilansir kompas.com
Kesulitan hidup itu pula yang menempanya menjadi seseorang yang kuat. "Jangan mengeluh, percaya saja Gusti Allah pasti akan menolong. Urip (hidup), rejeki, jodoh, mati semua sudah ada yang mengatur, manusia tinggal menjalani dengan iklas," kata Tumirah mengakhiri perbincangan.